2.1.11

Hidupku, Petualanganku (Part 1)

Ini cerpen tugas matkul bahasa Indonesia.. ditunggu kritik dan sarannya yaa, hehe :D

-------------------------------------------------------------------------------------

“Cepat katakan, dimana tempat persembunyian komplotanmu sekarang!” ujar pria berkacamata hitam itu kepadaku.

Aku tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaannya. Enak saja dia bilang komplotan, aku tak mau disamakan dengan dia dan antek-anteknya.

“Kau benar-benar membuatku emosi!!!” kali ini dia membentak sambil mendorongku ke tembok dengan kasar sehingga kepalaku terbentur.

Gelap.

***

Namaku Jasmine Arlington, nama yang asing bagi orang Indonesia. Orangtuaku ingin agar aku bermanfaat bagi sesama seperti bunga melati yang memberikan keharuman bagi setiap makhluk berada di dekatnya, sedangkan nama belakangku diambil dari tempat aku dilahirkan, karena pada saat itu ayah masih menyelesaikan studinya dan kami tinggal di Arlington, Virginia, Amerika Serikat.

Setelah lulus elementary school atau Sekolah Dasar, kami pindah dan menetap kembali di Indonesia karena ayah telah selesai menempuh studi dan menjadi staff ahli termuda di Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ibuku sendiri merupakan seorang Sarjana Humaniora, lulusan jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Indonesia, maka tak ada pantangan yang berarti saat keluarga kami harus tinggal di luar negeri untuk beberapa tahun lamanya.

Aku pun didaftarkan ke Jakarta International School, agar aku tetap menggunakan bahasa Inggris meskipun tidak sepenuhnya kata ayahku. Disanalah panggilan Bunga mulai melekat pada diriku. Mau tahu mengapa? Karena kata mereka, aku mirip dengan artis Bunga Citra Lestari dan kebetulan nama asliku juga merupakan nama salah satu jenis bunga. Aduh, ada-ada saja mereka ini, padahal aku tak merasa mirip dengan artis mana pun, tetapi aku terima saja karena itu memang panggilan khusus dari mereka untukku.

Sejak SD di Arlington, aku sudah terbiasa untuk aktif di kelas dan berpikir kritis sehingga kebiasaan ini tak hilang saat aku berada di SMP yang notabene bukan berada di Amerika Serikat, negara yang sangat menuntut kita untuk selalu kritis dan aktif dalam setiap kegiatan. Berkali-kali aku mengikuti lomba dan menjadi juara mewakili sekolahku, sebagian besar lomba debat bahasa Inggris, tentu saja karena bahasa tersebut bukan bahasa asing lagi bagiku.

Setelah lulus, aku meneruskan sekolah ke Pribadi Bilingual Boarding School, Bandung. Kurva prestasiku semakin meningkat karena disana aku aktif dalam beberapa organisasi dan ekstrakurikuler namun tetap memprioritaskan akademik. Para guru beberapa kali menawarkan berbagai program pertukaran pelajar untuk kuikuti seperti AFS, tetapi aku selalu menolaknya karena aku ingin memberikan kesempatan pada teman-temanku yang belum pernah pergi ke luar negeri dan belajar disana. Aku juga pernah mendapat tawaran beasiswa untuk berkuliah di National University of Singapore, tetapi lagi-lagi aku tolak karena aku telah memiliki rencana untuk menuntut ilmu di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia sebab kelak aku ingin menjadi dosen Bahasa Indonesia di Ohio University, Amerika Serikat.

Interaksi dengan lingkungan yang penuh dinamika menjadikanku pribadi yang open-minded atau berpikiran terbuka dan luas. Entah mengapa hal itu berdampak pada intuisiku sehingga ketajamannya diatas rata-rata serta kebiasaanku yang senang menyelidiki sesuatu (kebiasaan ini didapat karena aku adalah salah satu dari sekian banyak penggemar Sherlock Holmes). Di sekolah, baik SMP maupun SMA, aku beberapa kali memecahkan kasus pencurian yang membuat pihak sekolah kalang kabut. Kasus pencurian di SMA yang paling menghebohkan membuatku berkenalan dengan salah seorang siswa yang mengagumkan.

***

“Maaf, saya boleh ikut duduk disini?” tanya seorang siswa yang sepertinya lebih tua dariku.

“Oh, iya boleh, silakan duduk”, aku menjawab sambil mengelap sisa sereal di sudut bibirku.

“Kamu Jasmine yang suka dipanggil Bunga, kan?”

“Iya.. eh, kok tahu?”

“Siapa sih yang nggak tahu kamu? Detektif cerdas dari kelas 11 Bahasa 1 yang terkenal itu,” ia berbicara dengan senyuman yang menawan. Aduh, bisa-bisa dia membuatku luluh dengan senyumnya itu.

“Oohh… iya, gitu? Ah, berlebihan banget, sih. Hehe. Hmm, ngomong-ngomong kita belum kenalan..” ups, kok jadi aku yang mengajaknya berkenalan? Wah, sepertinya aku sedang salah tingkah sekarang.

“Oh iya, saya hampir lupa. Perkenalkan, saya Putra dari kelas 12 IPA 2,” kali ini senyumnya memamerkan sedikit barisan giginya yang putih dan rata, ia juga rupawan dan badannya atletis, pasti banyak yang siswi disini yang menyukainya.

“Hei… halo? Kamu nggak apa-apa, kan?” dia bertanya sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depanku.

“Eh, i-iya, nggak apa-apa kok, kak Putra..” aduh, pasti sekarang mukaku sudah seperti kepiting rebus gara-gara rasa terpesona dan malu dicampur menjadi satu.

“Oke, Bunga, saya ke kelas duluan, ya. Eh, satu lagi, boleh saya minta nomormu?”

“Boleh, kak.”

Sejak itulah aku mengenalnya, Putra Dinata Clarke, ayahnya pria Inggris asli sedangkan ibunya wanita Jawa tulen, pantas saja dia memiliki ketampanan yang membuatnya banyak digandrungi para perempuan. Dia pula yang membawaku bergabung di sebuah agen rahasia untuk menyelidiki berbagai masalah sosial yang skalanya diatas kasus-kasus pencurian di sekolah yang telah kupecahkan. Kami menyelediki dan memecahkan berbagai kasus bersama-sama, kami pun berjanji untuk kuliah di kampus yang sama walau berbeda jurusan dan angkatan. Berbagai tantangan dan rintangan pun muncul satu persatu…

***

Targetku menjadi mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UPI akhirnya tercapai dan aku tinggal bersama nenek di Setiabudi Regency karena orangtuaku tetap tinggal di Jakarta, sedangkan Putra sudah dari tahun kemarin menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Geografi UPI. Dia memang sangat mencintai alam, tadinya dia ingin masuk UI, tapi karena aku ingin ke UPI, ia mengganti haluannya. Ahh… bagaimana mungkin aku bisa melepas pria sebaik dia? Kami memang tak pernah membahas hal-hal yang berkaitan dengan perasaan seperti yang aku rasakan, tetapi entahlah… rasanya ada suatu ikatan diantara kami (tentu saja di luar tugas sebagai agen rahasia) yang tidak dapat diungkapkan secara verbal dan eksplisit.

Namun ada yang membuatku jengkel padanya sekarang, ia menyamar sebagai seorang mahasiswa urakan yang jelas-jelas sangat jauh berbeda dengan kepribadiannya. Tugas kami sekarang adalah menyelidiki kasus peredaran narkoba yang disinyalir sudah masuk ke lingkungan para calon pendidik ini. Sedih sekali rasanya dan tentu saja miris, betul-betul mafia narkoba tak tahu diri, mereka tak segan untuk meracuni mahasiswa yang akan menjadi para pahlawan tanpa tanda jasa di negeri ini.

“Bunga, kamu juga nyamar ya, mumpung belum mulai kuliah, kamu mulai sekarang pakai jibab aja,” pinta Putra dengan mimik serius namun dengan penampilan yang tidak mencerminkan kesungguhannya sebagai mahasiswa dan ini membuatku sedikit mual.

“Apa? Pakai jilbab? Aku kan nggak biasa… emang nggak ada alternatif penyamaran yang lain?” aku bergidik, jelas-jelas aku sangat tidak biasa memakai jilbab meskipun dari lahir aku menganut agama Islam.

“Aku mohon, Bunga… ini demi kelancaran misi kita mengusut tuntas kasus peredaran narkoba itu. Nanti di kampus, kita pura-pura tidak saling mengenal dan akhirnya kita berkenalan dengan cara yang akan dipikirkan selanjutnya. Hal ini agar tidak mencurigakan mafia narkoba serta antek-anteknya itu…” ujarnya memohon kepadaku.

“Lantas apa hubungannya dengan keharusanku memakai jilbab?” aku masih belum mengerti sepenuhnya.

“Begini, mereka itu akan sangat senang bila ada yang berhasil menjadikan gadis berjilbab sebagai pemakai narkoba dan nantinya tentu saja melepas jilbabnya. Aku juga belum menemukan alasan mengapa mereka menginginkan hal itu karena mereka tak pernah menjelaskannya, hanya saja kuat dugaanku bahwa mereka adalah bagian dari konspirasi.”

“Konspirasi bagaimana maksudmu?”

“Ya, konspirasi bangsa asing serta para oknum di negeri ini. Mereka tak ingin bangsa kita mengalami kemajuan yang pesat karena memiliki pemuda-pemudi yang hebat, karena mereka takut akan kehilangan segalanya karena SDM kita di masa depan berkualitas unggul. Kamu pasti tahu kan, negara kita memiliki SDA yang berlimpah dan itulah yang tak ingin dilepaskan oleh para konspirator jahat itu,” seperti biasa, Putra memberi penjelasan yang masuk akal dan membuatku mengerti semuanya. Kali ini memang misi yang besar dan termasuk berat dijalankan..

“Hmm.. Baiklah, aku akan mengenakan jilbab di kampus,” kataku dengan penuh keyakinan.

***

Masa-masa menjadi mahasiswi baru pun aku jalani dan nikmati. Asyik sekali rasanya, temanku bertambah banyak dan bertambah pula pengalamanku. Para dosennya pun sangat pandai dalam mengajar dan tidak membuatku bosan. Aku bertekad untuk menjadi dosen yang mengasyikkan seperti mereka saat aku menjadi dosen di Amerika Serikat kelak.

Kemudian pada suatu hari, teman bimbelku yang sama-sama berkuliah di UPI Bandung mengajakku bertemu, katanya ada seseorang yang mau berkenalan denganku. Aku bingung, siapa gerangan orang tersebut? Aku kan berbeda jurusan dengan Tere, teman bimbelku itu, memangnya ada ya mahasiswa baru yang mengenalku di luar FPBS?

“Siapa sih orangnya, re?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran.

“Nanti juga kamu tahu, dia kakak tingkat aku. Katanya sih dia melihat kamu sejak MOKA dan dia langsung tertarik sama kamu,” Tere mengatakannya dengan ekspresi yang meyakinkan.

“Masa iya, sih? Aneh banget, deh…” hanya itu yang bisa kukatakan, habis aku memang merasa aneh dan intuisiku mulai bekerja lagi, aku merasa seperti ada skenario di balik ini.

“Yaa.. kita lihat aja nanti,” ia mengedipkan matanya nakal. Ugh, aku tidak suka kalau harus terus penasaran seperti ini.

***

to be continued...

No comments

Post a Comment

© KATATINA
Maira Gall