7.3.11

Masihkah Kita Enggan untuk Memberi?

Sepulang kuliah, saya bertemu dengan salah seorang kawan yang inspiratif dan tergolong imut, but of course, penulis note inilah yang paling imut, hahaha #dezigh! langsung ditimpuk rame-rame pake sendal sama para pembaca XD

Dia habis berbelanja dari sebuah pasar swalayan.. dan bercerita tentang hal yang membuatnya miris sekaligus takjub.

Selesai belanja, ada anak kecil penjual cireng mentah yang menawarkan dagangannya, cirengnya itu dibawa dengan cara dipanggul gitu. Kebetulan disitu juga ada nenek-nenek, tapi belum begitu renta, dan sudah berdiri sejak lama di depan swalayan sambil megang mangkuk di tangannya #ngemis maksudnya.

And you know, si nenek bilang gini sama anak kecil itu, “Kaditu sia! Kaditu jauh-jauh, ulah ngahalangan urang!” (“Kesana kamu! Kesana jauh-jauh, jangan menghalangi saya!”) dengan nada kasar dan mata melebar.

Woww.. terang aja temen saya itu langsung ilfeel sama si nenek, dan si anak kecil langsung mengikuti dia yang berjalan menuju tempat penitipan barang.

“Tunggu sebentar ya, de” kata temen saya.

Setelah mengambil tas, temen saya langsung ngambil uang Rp 5.000,00 buat si anak kecil tadi, karena temen saya itu emang niat mau belajar mengeluarkan zakat atas uang mingguan yang diterimanya (2,5% x Rp 200.000,00 = Rp 5.000,00). Tapi ehh.. anak kecilnya malah menghilang.

Setelah itu, dia muter-muter dulu nyari sang bocah, poko’nya dia ngga mau pulang dulu sebelum ketemu anak itu dan ngasih uangnya. Wehehe.. dan, voila! Ketemu deh sama anak yang tadi,

“Ini buat ade aja :)”

Si ade nya ‘cengo’, sambil bilang makasih pelan-pelan. Temen saya pun pergi dengan hati tenang #cirengnya mah ngga beli, hehehe.

“Emang ga sayang gitu ngasih Rp 5.000,00?” #halah, pertanyaan konyol, na -,-“ secara, uang segitu cukup buat ongkos dari cicaheum ke kampus atau 1 porsi makan di gerlong :P itungan pisan si tina, adatna tukang pulsa ini mah >.<”

“Ngga.. Malah sepertinya yang saya kasih itu ngga sebanding sama pelajaran yang udah anak itu kasih ke saya secara ngga langsung. Saya jadi tersadar untuk senantiasa bersyukur atas apa yang Allah kasih ke saya saat ini, saya punya orangtua yang masih mampu untuk membiayai segala kebutuhan saya, sedangkan anak itu, bahkan untuk makan sehari-hari pun mungkin tak menentu. Tapi saya berdo’a, semoga Allah senantiasa melindungi anak itu dan menjadikannya seorang ksatria sejati yang berguna bagi ummat, karena Allah tau seberapa besar perjuangan dan kegigihannya di usia yang masih sangat belia..”

Subhanallah.. sekarang giliran saya yang ‘cengo’ mendengar perkataan temen saya tersebut. Eta pisaaannn... Kalo lagi futur, bener-bener rasa syukur teh serasa menguap tanpa sisa, astagfirullah..

Setelah itu, di perjalanan pulang, saya merenungi kisah temen saya tadi, hmm.. jangan segan deh kalo mau memberi sama orang lain, toh sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi sesamanya, bukan? Sekecil apapun manfaat itu :D

Ehh.. kenapa serasa ada yang janggal ya? #terlintas di sela-sela renungan di angkot

Huaaaaaaa..... Tabung ‘ajaib’ berisi buku gambar A3 ku ketinggalan di lab. Lantai 3!!! Astagfirullahaladzim, naaaaa >o<

Gaswat, itu buku gambar buat matkul kosmo, ‘separuh jiwaku’ T.T Aihhh... Semoga masih jadi rezeki saya, sehingga besok bisa ketemu, aamiin >.< 

One more important point, guys, syukurilah hidup anda yang tidak dipenuhi hal-hal konyol seperti yang dialami penulis imut ini setiap harinya #lagi stress, masiiiihhhh aja narsis, plis deh, na :P

Epilognya rada nyeleneh, ya? Hehe. Maaf ^^v

Semoga ada hikmah yang bisa diambil dari note ini dan diimplementasikan dalam kehidupan sahabat-sahabat sekalian.


So, masih enggan untuk memberi? Hmm.. Ngga lha, ya! :D

Wallahu a’lam bisshawab.

2 Rabi’ul Akhir 1432 H

1.3.11

Refleksi Sederhana :)

Bismillah...

Ada masa dimana dalam menjalani hidupnya, jalan yang ditempuh manusia tidak akan selamanya mulus dan bebas hambatan. Kita harus memiliki persiapan ekstra untuk menempuh jalan yang lebih terjal, berliku, dan tidak nyaman. Kadang karena kesalahan sebesar atom saja, kita akan mudah rapuh, jatuh dan kesakitan, namun mau tak mau kita harus segera bangkit.

Itulah saat dimana diri kita membutuhkan sebuah perbaikan...

Karena alangkah lebih baik menjadi manusia yang senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas dirinya meskipun hanya setitik demi setitik, daripada menjadi manusia yang sudah merasa cukup baik, bahkan sempurna, hingga lalai karena berleha-leha.

Bukankah sebuah intan itu harus digosok dengan sangat keras sehingga menjadi batu mulia yang kilaunya tak tertandingi sejagad raya? Sehingga perbaikan-perbaikan ini pun semoga menjadi anak tangga menuju generasi keemasan dengan peradaban yang luar biasa di masa depan, aamiin :)

Semangat!!! \^o^/

“... Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri ...” 
(Q.S. Ar-Ra’d : 11)

Wallahu a’lam bisshawab.



Sebuah refleksi sederhana :)

26 Rabi’ul Awal 1432 H


© KATATINA
Maira Gall