3.1.11

Hidupku, Petualanganku (Part 2)

“Hai, Bunga, perkenalkan saya Putra, mahasiswa Pendidikan Geografi 2009,” ujar seorang mahasiswa urakan sambil menyodorkan lengannya untuk bersalaman denganku.

Aku melongo tak percaya. Ini kan Putra! Aduh, mengapa tak tertebak strateginya olehku? Dasar Putra Dinata Clarke, kecerdasannya semakin terasah saja dan aku juga bingung darimana dia tahu bahwa Tere adalah teman bimbelku dulu?

“Ehm, Bunga… nggak usah terpesona sebegitunya, deh, hihi..” ujar Tere menggodaku.

“Eh, iya, maaf.. Saya Bunga, senang berkenalan dengan kakak,” rasanya ingin tertawa meledak-ledak dengan perkenalan konyol seperti ini.

Akhirnya aku dan Putra pun memulai menjalankan tugas kami bersama-sama lagi. Jika dulu kami menjalankan tugas bersama-sama tetapi sembunyi-sembunyi, sekarang kami secara terang-terangan memperlihatkan kepada publik bahkan kami sampai berpura-pura menjadi sepasang kekasih dan rasanya aku tidak ingin mengakhiri kepura-puraan ini. Aduh, sempat-sempatnya aku berpikir seperti itu. Kembali aku tegaskan kepada diriku sendiri, aku dan Putra adalah agen rahasia yang sedang menjalankan tugas dengan level kesulitan tinggi.

***

“Apa?! Bercerai?? Tapi kenapa, ayah, bunda?!” rasanya langit runtuh dan dunia menghimpitku saat kedua orangtuaku mengatakan bahwa mereka akan bercerai.

“Kami sudah merasa nggak cocok lagi satu sama lain, sayang…” jawab ayah.

“Kami juga sudah berusaha untuk mempertahankan pernikahan ini demi dirimu, tapi tidak bisa… Semakin dipertahankan semakin besar keributan yang muncul diantara kami. Kamu sudah dewasa, nak… Bunda harap kamu bisa mengerti, sayang…” ujar bunda sambil memeluk diriku.

Tak ada yang bisa kuperbuat lagi. Aku tahu persis ayah dan bunda bukan orang yang sembarangan untuk membuat keputusan. Aku terima walaupun dengan derai air mata dan luka menganga lebar dalam hatiku.

Hari-hari selanjutnya aku jalani dengan semangat yang berkurang hampir separuhnya. Walaupun dilimpahi kasih sayang yang penuh oleh nenekku, tetapi tetap saja ketidaksempurnaan kasih sayang dari kedua orangtuaku yang berpisah sangat menyakitkanku. Beberapa minggu kemudian, ayah menikah lagi dengan wanita lain dan membuat luka di hatiku semakin melebar seperti lubang hitam di angkasa yang menghisap keceriaanku.

Awalnya aku tak bisa menerimanya, aku hampir frustasi, merasa kehilangan segalanya. Aku tak mau bertemu dengan ayah dan istri barunya yang telah memiliki anak karena ia adalah seorang janda beranak dua. Dukungan dan kehadiran Putra yang menguatkanku, ia membantuku untuk bangkit kembali dari keterpurukan yang aku buat sendiri. Ia meyakinkanku bahwa semua ada hikmahnya dan akan ada kebahagiaan yang mendatangiku setelah ini, seperti pelangi yang muncul setelah rintik hujan yang deras menghujam bumi.

***

Waktunya pun tiba, hari ini aku kuliah tanpa mengenakan jilbab, seakan-akan telah terpengaruh secara negatif oleh Putra. Aku melepas jilbab dengan perasaan yang sungguh berat. Jujur, aku merasa lebih dekat dengan Tuhan saat aku memakainya. Aku melaksanakan ibadah-ibadah wajib sebagai muslim pun sejak aku memakai jilbab dengan bimbingan Putra.

Meskipun berpenampilan urakan dan melibatkan diri dengan komplotan narkoba yang berbahaya, Putra mempelajari Islam secara sembunyi-sembunyi. Ia belajar dari buku, internet, bahkan mendatangi beberapa ustadz dengan nyawa yang menjadi taruhan bila ketahuan oleh para pelaku peredaran narkoba itu. Aku melepas jilbab ini sambil menangis, tangis yang benar-benar luapan emosiku.

Teman-temanku menatapku dengan penuh rasa penasaran, bahkan ada pula yang memandangku jijik. Aku merasa ada banyak belati yang menusuk jantungku, bukan hanya karena respons teman-temanku tetapi juga karena kebodohanku yang tak bisa mempertahankan eksistensi jilbabku.

***

Aku memandangi papan tulis dengan kepala yang berat dan pusing. Jarum panjang arlojiku menunjuk angka 1, sedangkan aku belum makan apa-apa hari ini. Aku mual, sepertinya gara-gara kemarin masuk angin kehujanan sepulang dari rumah ayah. Kalau tidak bertengkar dengan ibu tiriku, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Aku memilih untuk buru-buru pulang karena emosi, padahal bila aku bersabar menunggu ayah pulang, aku akan diantar dan tidak akan masuk angin seperti ini.

Sepertinya aku ingin muntah, aku bergegas ke kamar mandi diantar Nisa, teman sekelasku, setelah meminta ijin pada dosen. Ini benar-benar masuk angin yang memuakkan! Aku sampai muntah berkali-kali di wastafel karenanya. Aku benar-benar tidak kuat lagi mengikuti kuliah, aku pun meminta ijin untuk pulang.

Di perjalanan aku merasa ada kejanggalan. Ah! Aku lupa membawa tasku! Gawat sekali, padahal disana ada obat insomnia yang kubeli dari apotik beberapa hari yang lalu. Sekarang ini aku memang terkena insomnia yang sangat melelahkan daya tahan tubuhku.

Tiba-tiba ada sebuah mobil yang meluncur dengan cepat ke arahku…

“Cepat masuk ke dalam mobil!” teriak seorang pria berbadan besar dan legam sambil menarikku.

“Apa maksudnya ini?! Siapa kalian?! Aku tidak mau!!!” aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria berbadan besar nan legam itu dan satu temannya yang lebih kurus.

Si kurus menutup mulut dan hidungku dengan saputangan hitam, mataku berkunang-kunang dan tak sadarkan diri.

***

“Ditemukan seorang mayat perempuan yang diduga merupakan mayat seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UPI Bandung yang bernama Jasmine Arlington atau yang biasa disebut Bunga di Sungai Saguling. Tetapi pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan karena mayat Bunga sulit diidentifikasi, namun terdapat kartu identitas dalam saku celananya…” sayup-sayup suara pembawa acara berita televisi itu membangunkanku. Dasar mafia kurang ajar, mereka sampai mengorbankan nyawa wanita tak bersalah agar meyakinkan publik bahwa aku sudah tiada.

“Kau marah, cantik? Haha. Lantas kenapa tak kau sebutkan saja dimana tempat agen rahasiamu itu dan dimana si Putra yang laknat itu!” lagi-lagi pria berkacamata hitam itu memaksaku.

“Aku tidak akan pernah memberitahukannya padamu meskipun nyawaku menjadi taruhannya!!!” aku menjawab dengan berapi-api meskipun sebenarnya nyaliku tak sekuat apa yang aku katakan.

“Oh, bagus sekali, Jasmine Arlington... hebat! Kalau begitu, buktikan kepadaku sekarang…” tidak seperti di film-film dimana korban penculikan diancam dengan pisau di lehernya, ia malah mengarahkan pisau lipatnya yang tajam ke arah mataku.

Aku terkesiap dan refleks menutup mataku. Beberapa detik kemudian aku membuka mata pelan-pelan dan pisau itu sudah berada di meja sebelahku.

“Aku akan mencongkel matamu yang indah itu kemudian memberikannya pada kekasihmu, Putra, yang keparat itu! Hahahaha,” ia berkata dengan tawa seperti para pemain judi besar di Las Vegas.

“Bersiaplah, nona cantik…” lagi-lagi ia menodongkan mata pisaunya ke arah mataku. Ya Tuhan, sekarang nyawaku di ujung tanduk… aku memohon perlindungan dari-Mu, hamba mohon tolong hamba… tak terasa air mata menetes membasahi pipiku.

Braaakkk!!!

Suara pintu gudang using ini didobrak dengan keras. Putra!!! Terima kasih karena Kau kirimkan ksatriaku, Tuhan…

Terjadilah pertarungan sengit antara Putra dengan pria berkacamata hitam yang belakangan kutahu namanya Zoro, kedengarannya aneh karena itu memang nama populernya, tak ada seorang pun yang mengetahui nama aslinya.

Aku bergegas ke depan, kulihat dua anak buah Zoro sudah pingsan, pasti sudah dilumpuhkan Putra dengan lihai. Selain menguasai berbagai ilmu bela diri, Putra juga belajar ilmu hipnotis.

Lalu aku kembali dan melihat Zoro dibelakang Putra yang kulitnya sudah banyak tergores luka karena pisau tadi. Ia terlihat akan menusuk Putra dari belakang sementara Putra berusaha untuk bangkit karena lututnya terkena goresan pisau. Aku tak bisa diam saja, aku harus melakukan sesuatu! Tetapi aku malah lupa akan ilmu bela diri yang aku pelajari di saat yang genting seperti ini! Aku berpikir keras dan ingat bahwa aku masih menyimpan bubuk cabai buatan nenek dalam saku jaketku yang aku bawa untuk bumbu penyedap kalau-kalau aku membeli jajanan irisan buah-buahan di depan kampus.

“Hei, kau, kalau berani coba lawan aku!” aku menggertak Zoro dengan keras. Zoro pun menghampiriku dan…

“Rasakan ini!!!” aku menyemburkan bubuk cabe itu ke matanya, dia kalang kabut sambil mencaci maki diriku. Akhirnya aku dan Putra bisa melumpuhkannya dengan sempurna. Beberapa menit kemudian, datang para polisi dan menangkap Zoro dengan anak-anak buahnya. Mengapa ya polisi selalu saja datang terlambat, seperti di film-film itu? Tetapi ya sudahlah, yang penting aku dan Putra selamat serta tak ada lagi peredaran narkoba yang merusak para calon guru itu. Menurut pihak kepolisian, hipotesa Putra memang benar bahwa ada suatu konspirasi dalam kasus ini. Untuk kesekian kalinya, kekagumanku bertambah pada pria bermata hijau ini.

***

Setelah kasus besar itu, aku dan Putra memutuskan untuk berhenti menjadi agen rahasia, bukan karena kami tidak mau membantu sesama, tetapi sudah waktunya ada regenerasi. Pemimpin kami, Pak Setya Parker yang keturunan Jawa-Belanda namun sangat cinta Indonesia ini melepas kami dengan berat hati.

“Kalian akan tetap berkomunikasi denganku, kan? Kalian ini sudah seperti anakku sendiri…” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Ah.. aku sungguh tak tega melihatnya, baru kali ini aku melihat beliau yang gagah hampir menangis.

“Tentu saja, pak, kita juga sudah menganggap bapak sebagai ayah kami sendiri,” ujar Putra.

Aku mengiyakan.

Hari-hari berikutnya aku dan Putra masih berkomunikasi tetapi tidak intens seperti dulu, bahkan sudah sangat langka bertemu meskipun fakultas kami sangat berdekatan karena kesibukan kami masing-masing. Kemudian aku kembali memakai jilbab dan mempelajari agama yang kuanut ini dengan sungguh-sungguh dengan mengikuti kajian keislaman, dsb.

Lima tahun kemudian, Putra melamarku setelah menyelesaikan studi S2nya di Cambridge University. Aku sendiri sudah mengajar di sebuah sekolah yang sedikit terpencil, meskipun dengan gaji yang tidak bisa dikatakan besar, namun aku bahagia karena dapat bermanfaat bagi orang lain dan walaupun cita-citaku menjadi dosen di Ohio University harus tertunda.

Kemudian kami dianugerahi dua buah hati yang menggemaskan, Orchidia Puspita Clarke dan Andhika Raiza Clarke.

***

Suatu Minggu yang mendung, acara jalan-jalan pun kami batalkan. Kami memutuskan untuk menonton koleksi DVD Spy Kids yang kami miliki di rumah.

“Bunda, Ochi mau jadi agen rahasia kayak Carmen Cortez ya! Keren banget!”

“Dhika juga, ayah, pengen kayak Juni Cortez ya! Pasti asyik deh jadi agen rahasia!”

Aku dan Putra saling berpandangan kemudian ia mengedipkan mata dan menyunggingkan senyum termanisnya padaku.

***

Tamat, hehe :D

No comments

Post a Comment

© KATATINA
Maira Gall