31.1.11

Elegi


Saat ini...
Aku merindukan diriku yang dulu.
Dimana aku bisa dengan bebasnya bermimpi menembus cakrawala tanpa menghiraukan hambatan-hambatan yang kan menghadangku.
Saat aku memakai seragam putih-blue black dengan segala perilaku kebocahannya. Dengan mata yang berbinar penuh rasa ingin tahu akan segala hal. Aku yang selalu berpikir dengan penuh rasionalitas setiap waktu.
Beranjak memakai seragam putih-abu, kutemukan secercah cahaya disana. Cahaya yang sedikit demi sedikit memudarkan rasio dan ego yang kupegang teguh sebagai landasan atas setiap apa yang kukerjakan.
Cahaya itu...
Membuatku mengenal orang-orang yang luar biasa, orang-orang yang mengingatkanku akan surga. Aku semakin optimis, dan kali itu aku mulai merenda kembali mimpi-mimpiku pada jalan yang sebelumnya belum pernah ku tapakkan kakiku diatasnya.
Namun kini...
Kekosongan kerapkali menyapaku. Membuatku gusar atas diriku yang semakin hari semakin tak konsisten. Sehingga rasanya hidup pun semakin tak jelas saja, tak terorganisir.
Rangkaian mimpi itu pun crash untuk sesaat.
Bukan, ini bukan cerita penyesalan. Namun hanya sedikit luapan kekecewaan pada diriku sendiri yang dapat tertuangkan.
Perlahan kusadari...
Itulah efek dari keimanan yang sedang turun. Kata orang, keimanan itu akan senantiasa naik-turun dalam kehidupan manusia.
Ahh...
Kau tahu, pada saat aku bersama orang-orang hebat itu, aku merasa on fire lagi. Tapi saat jarak dan waktu itu mulai memisahkan kami, aku kembali merasa jatuh.
Namun aku juga tak mau disebut slave, yang kebaikannya bergantung pada orang lain.
Dan aku teringat kembali, bagi seorang Muslim, yang saat ini tak lebih baik dari yang lalu, adalah merugi! Sangat merugi!
Astagfirullahal’adzim...
Inilah akibat dari seorang hamba yang seringkali lupa untuk mengingat-Nya, tidak mengindahkan segala titah-Nya, dan kadar pengabdiannya masih sangat jauh dari predikat cukup sekalipun.
Taubat... It’s the explanation.
“Segera bertaubat dari segala dosa wajib segera dilakukan dan tidak boleh ditunda. Jika taubat ditunda, pelakunya bermaksiat kepada Allah akibat penundaan taubatnya. Jika ia bertaubat, ia masih punya kewajiban taubat yang lain, yaitu taubat dari penundaan taubatnya. Hal ini jarang sekali terbesit di jiwa orang yang bertaubat!” (Ibnu Qayyim rahimahumullâh)
...
Lalu tulisan seorang sahabat dalam buku agenda lama ku kembali tersingkap...
Qum Fa andzir!
Bangkit dan guncangkan
Abaikan para pendengki si juru fitnah
Lemparkan selimut kemalasan
Datangi gudang-gudang ilmu
Masuki gudang-gudang menjulang
Temukan makna hidup yang hilang
Pakailah jubah keberanianmu yang paling cemerlang
Karena engkau bukanlah pengemis yang merintih
Engkaulah cahaya mentari tak pilih kasih
Jangan tergoda butiran pasir berserakan,
Yang membuat ombak samudera tertawa canda
Jadilah batukarang!
Kukuh tangguh, menatap gagah, menyongsong gigih hempasan ombak dengan tertawa
Walau kepedihan menyayat raga,
Tak perlu menghamba diri pada dunia
Bagi mujahid sejati,
Lebih baik jadi singa sehari daripada domba seribu hari
Tidak perlu sedu sedan atau tangis ratapan
Karena kehilangan dunia
Tetapi jadikan dunia meratap sendu dalam tangisan
Karena kehilangan dirimu
Qum Fa andzir wa Rabbaka Fakabbir!
Tebarkan iman dengan cinta
Gubah dunia dengan prestasi
Jadikan hidupmu penuh arti
Kemudian boleh bersiap mati
Kalau kelak datang hari perjumpaan
Basahkan bibirmu mengucap puji Ilahi Rabbi
Laa ilaaha illallah...
Bangkit dan berilah peringatan
Buang dan campakkan kecemasan
Bunuh dan singkirkan kemalasan
Tumpas dan kuburkan kepalsuan
...
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
(Q. S. Al-An’aam [6]: 162-163)
And the next is an upgrading programme (tarbiyah dzatiyah)...
-----------------------------------------------------------------------
Sebuah elegi tak berstruktur
Bandung,
27 Safar 1432 H

3.1.11

Hidupku, Petualanganku (Part 2)

“Hai, Bunga, perkenalkan saya Putra, mahasiswa Pendidikan Geografi 2009,” ujar seorang mahasiswa urakan sambil menyodorkan lengannya untuk bersalaman denganku.

Aku melongo tak percaya. Ini kan Putra! Aduh, mengapa tak tertebak strateginya olehku? Dasar Putra Dinata Clarke, kecerdasannya semakin terasah saja dan aku juga bingung darimana dia tahu bahwa Tere adalah teman bimbelku dulu?

“Ehm, Bunga… nggak usah terpesona sebegitunya, deh, hihi..” ujar Tere menggodaku.

“Eh, iya, maaf.. Saya Bunga, senang berkenalan dengan kakak,” rasanya ingin tertawa meledak-ledak dengan perkenalan konyol seperti ini.

Akhirnya aku dan Putra pun memulai menjalankan tugas kami bersama-sama lagi. Jika dulu kami menjalankan tugas bersama-sama tetapi sembunyi-sembunyi, sekarang kami secara terang-terangan memperlihatkan kepada publik bahkan kami sampai berpura-pura menjadi sepasang kekasih dan rasanya aku tidak ingin mengakhiri kepura-puraan ini. Aduh, sempat-sempatnya aku berpikir seperti itu. Kembali aku tegaskan kepada diriku sendiri, aku dan Putra adalah agen rahasia yang sedang menjalankan tugas dengan level kesulitan tinggi.

***

“Apa?! Bercerai?? Tapi kenapa, ayah, bunda?!” rasanya langit runtuh dan dunia menghimpitku saat kedua orangtuaku mengatakan bahwa mereka akan bercerai.

“Kami sudah merasa nggak cocok lagi satu sama lain, sayang…” jawab ayah.

“Kami juga sudah berusaha untuk mempertahankan pernikahan ini demi dirimu, tapi tidak bisa… Semakin dipertahankan semakin besar keributan yang muncul diantara kami. Kamu sudah dewasa, nak… Bunda harap kamu bisa mengerti, sayang…” ujar bunda sambil memeluk diriku.

Tak ada yang bisa kuperbuat lagi. Aku tahu persis ayah dan bunda bukan orang yang sembarangan untuk membuat keputusan. Aku terima walaupun dengan derai air mata dan luka menganga lebar dalam hatiku.

Hari-hari selanjutnya aku jalani dengan semangat yang berkurang hampir separuhnya. Walaupun dilimpahi kasih sayang yang penuh oleh nenekku, tetapi tetap saja ketidaksempurnaan kasih sayang dari kedua orangtuaku yang berpisah sangat menyakitkanku. Beberapa minggu kemudian, ayah menikah lagi dengan wanita lain dan membuat luka di hatiku semakin melebar seperti lubang hitam di angkasa yang menghisap keceriaanku.

Awalnya aku tak bisa menerimanya, aku hampir frustasi, merasa kehilangan segalanya. Aku tak mau bertemu dengan ayah dan istri barunya yang telah memiliki anak karena ia adalah seorang janda beranak dua. Dukungan dan kehadiran Putra yang menguatkanku, ia membantuku untuk bangkit kembali dari keterpurukan yang aku buat sendiri. Ia meyakinkanku bahwa semua ada hikmahnya dan akan ada kebahagiaan yang mendatangiku setelah ini, seperti pelangi yang muncul setelah rintik hujan yang deras menghujam bumi.

***

Waktunya pun tiba, hari ini aku kuliah tanpa mengenakan jilbab, seakan-akan telah terpengaruh secara negatif oleh Putra. Aku melepas jilbab dengan perasaan yang sungguh berat. Jujur, aku merasa lebih dekat dengan Tuhan saat aku memakainya. Aku melaksanakan ibadah-ibadah wajib sebagai muslim pun sejak aku memakai jilbab dengan bimbingan Putra.

Meskipun berpenampilan urakan dan melibatkan diri dengan komplotan narkoba yang berbahaya, Putra mempelajari Islam secara sembunyi-sembunyi. Ia belajar dari buku, internet, bahkan mendatangi beberapa ustadz dengan nyawa yang menjadi taruhan bila ketahuan oleh para pelaku peredaran narkoba itu. Aku melepas jilbab ini sambil menangis, tangis yang benar-benar luapan emosiku.

Teman-temanku menatapku dengan penuh rasa penasaran, bahkan ada pula yang memandangku jijik. Aku merasa ada banyak belati yang menusuk jantungku, bukan hanya karena respons teman-temanku tetapi juga karena kebodohanku yang tak bisa mempertahankan eksistensi jilbabku.

***

Aku memandangi papan tulis dengan kepala yang berat dan pusing. Jarum panjang arlojiku menunjuk angka 1, sedangkan aku belum makan apa-apa hari ini. Aku mual, sepertinya gara-gara kemarin masuk angin kehujanan sepulang dari rumah ayah. Kalau tidak bertengkar dengan ibu tiriku, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Aku memilih untuk buru-buru pulang karena emosi, padahal bila aku bersabar menunggu ayah pulang, aku akan diantar dan tidak akan masuk angin seperti ini.

Sepertinya aku ingin muntah, aku bergegas ke kamar mandi diantar Nisa, teman sekelasku, setelah meminta ijin pada dosen. Ini benar-benar masuk angin yang memuakkan! Aku sampai muntah berkali-kali di wastafel karenanya. Aku benar-benar tidak kuat lagi mengikuti kuliah, aku pun meminta ijin untuk pulang.

Di perjalanan aku merasa ada kejanggalan. Ah! Aku lupa membawa tasku! Gawat sekali, padahal disana ada obat insomnia yang kubeli dari apotik beberapa hari yang lalu. Sekarang ini aku memang terkena insomnia yang sangat melelahkan daya tahan tubuhku.

Tiba-tiba ada sebuah mobil yang meluncur dengan cepat ke arahku…

“Cepat masuk ke dalam mobil!” teriak seorang pria berbadan besar dan legam sambil menarikku.

“Apa maksudnya ini?! Siapa kalian?! Aku tidak mau!!!” aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria berbadan besar nan legam itu dan satu temannya yang lebih kurus.

Si kurus menutup mulut dan hidungku dengan saputangan hitam, mataku berkunang-kunang dan tak sadarkan diri.

***

“Ditemukan seorang mayat perempuan yang diduga merupakan mayat seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UPI Bandung yang bernama Jasmine Arlington atau yang biasa disebut Bunga di Sungai Saguling. Tetapi pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan karena mayat Bunga sulit diidentifikasi, namun terdapat kartu identitas dalam saku celananya…” sayup-sayup suara pembawa acara berita televisi itu membangunkanku. Dasar mafia kurang ajar, mereka sampai mengorbankan nyawa wanita tak bersalah agar meyakinkan publik bahwa aku sudah tiada.

“Kau marah, cantik? Haha. Lantas kenapa tak kau sebutkan saja dimana tempat agen rahasiamu itu dan dimana si Putra yang laknat itu!” lagi-lagi pria berkacamata hitam itu memaksaku.

“Aku tidak akan pernah memberitahukannya padamu meskipun nyawaku menjadi taruhannya!!!” aku menjawab dengan berapi-api meskipun sebenarnya nyaliku tak sekuat apa yang aku katakan.

“Oh, bagus sekali, Jasmine Arlington... hebat! Kalau begitu, buktikan kepadaku sekarang…” tidak seperti di film-film dimana korban penculikan diancam dengan pisau di lehernya, ia malah mengarahkan pisau lipatnya yang tajam ke arah mataku.

Aku terkesiap dan refleks menutup mataku. Beberapa detik kemudian aku membuka mata pelan-pelan dan pisau itu sudah berada di meja sebelahku.

“Aku akan mencongkel matamu yang indah itu kemudian memberikannya pada kekasihmu, Putra, yang keparat itu! Hahahaha,” ia berkata dengan tawa seperti para pemain judi besar di Las Vegas.

“Bersiaplah, nona cantik…” lagi-lagi ia menodongkan mata pisaunya ke arah mataku. Ya Tuhan, sekarang nyawaku di ujung tanduk… aku memohon perlindungan dari-Mu, hamba mohon tolong hamba… tak terasa air mata menetes membasahi pipiku.

Braaakkk!!!

Suara pintu gudang using ini didobrak dengan keras. Putra!!! Terima kasih karena Kau kirimkan ksatriaku, Tuhan…

Terjadilah pertarungan sengit antara Putra dengan pria berkacamata hitam yang belakangan kutahu namanya Zoro, kedengarannya aneh karena itu memang nama populernya, tak ada seorang pun yang mengetahui nama aslinya.

Aku bergegas ke depan, kulihat dua anak buah Zoro sudah pingsan, pasti sudah dilumpuhkan Putra dengan lihai. Selain menguasai berbagai ilmu bela diri, Putra juga belajar ilmu hipnotis.

Lalu aku kembali dan melihat Zoro dibelakang Putra yang kulitnya sudah banyak tergores luka karena pisau tadi. Ia terlihat akan menusuk Putra dari belakang sementara Putra berusaha untuk bangkit karena lututnya terkena goresan pisau. Aku tak bisa diam saja, aku harus melakukan sesuatu! Tetapi aku malah lupa akan ilmu bela diri yang aku pelajari di saat yang genting seperti ini! Aku berpikir keras dan ingat bahwa aku masih menyimpan bubuk cabai buatan nenek dalam saku jaketku yang aku bawa untuk bumbu penyedap kalau-kalau aku membeli jajanan irisan buah-buahan di depan kampus.

“Hei, kau, kalau berani coba lawan aku!” aku menggertak Zoro dengan keras. Zoro pun menghampiriku dan…

“Rasakan ini!!!” aku menyemburkan bubuk cabe itu ke matanya, dia kalang kabut sambil mencaci maki diriku. Akhirnya aku dan Putra bisa melumpuhkannya dengan sempurna. Beberapa menit kemudian, datang para polisi dan menangkap Zoro dengan anak-anak buahnya. Mengapa ya polisi selalu saja datang terlambat, seperti di film-film itu? Tetapi ya sudahlah, yang penting aku dan Putra selamat serta tak ada lagi peredaran narkoba yang merusak para calon guru itu. Menurut pihak kepolisian, hipotesa Putra memang benar bahwa ada suatu konspirasi dalam kasus ini. Untuk kesekian kalinya, kekagumanku bertambah pada pria bermata hijau ini.

***

Setelah kasus besar itu, aku dan Putra memutuskan untuk berhenti menjadi agen rahasia, bukan karena kami tidak mau membantu sesama, tetapi sudah waktunya ada regenerasi. Pemimpin kami, Pak Setya Parker yang keturunan Jawa-Belanda namun sangat cinta Indonesia ini melepas kami dengan berat hati.

“Kalian akan tetap berkomunikasi denganku, kan? Kalian ini sudah seperti anakku sendiri…” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Ah.. aku sungguh tak tega melihatnya, baru kali ini aku melihat beliau yang gagah hampir menangis.

“Tentu saja, pak, kita juga sudah menganggap bapak sebagai ayah kami sendiri,” ujar Putra.

Aku mengiyakan.

Hari-hari berikutnya aku dan Putra masih berkomunikasi tetapi tidak intens seperti dulu, bahkan sudah sangat langka bertemu meskipun fakultas kami sangat berdekatan karena kesibukan kami masing-masing. Kemudian aku kembali memakai jilbab dan mempelajari agama yang kuanut ini dengan sungguh-sungguh dengan mengikuti kajian keislaman, dsb.

Lima tahun kemudian, Putra melamarku setelah menyelesaikan studi S2nya di Cambridge University. Aku sendiri sudah mengajar di sebuah sekolah yang sedikit terpencil, meskipun dengan gaji yang tidak bisa dikatakan besar, namun aku bahagia karena dapat bermanfaat bagi orang lain dan walaupun cita-citaku menjadi dosen di Ohio University harus tertunda.

Kemudian kami dianugerahi dua buah hati yang menggemaskan, Orchidia Puspita Clarke dan Andhika Raiza Clarke.

***

Suatu Minggu yang mendung, acara jalan-jalan pun kami batalkan. Kami memutuskan untuk menonton koleksi DVD Spy Kids yang kami miliki di rumah.

“Bunda, Ochi mau jadi agen rahasia kayak Carmen Cortez ya! Keren banget!”

“Dhika juga, ayah, pengen kayak Juni Cortez ya! Pasti asyik deh jadi agen rahasia!”

Aku dan Putra saling berpandangan kemudian ia mengedipkan mata dan menyunggingkan senyum termanisnya padaku.

***

Tamat, hehe :D

2.1.11

Hidupku, Petualanganku (Part 1)

Ini cerpen tugas matkul bahasa Indonesia.. ditunggu kritik dan sarannya yaa, hehe :D

-------------------------------------------------------------------------------------

“Cepat katakan, dimana tempat persembunyian komplotanmu sekarang!” ujar pria berkacamata hitam itu kepadaku.

Aku tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaannya. Enak saja dia bilang komplotan, aku tak mau disamakan dengan dia dan antek-anteknya.

“Kau benar-benar membuatku emosi!!!” kali ini dia membentak sambil mendorongku ke tembok dengan kasar sehingga kepalaku terbentur.

Gelap.

***

Namaku Jasmine Arlington, nama yang asing bagi orang Indonesia. Orangtuaku ingin agar aku bermanfaat bagi sesama seperti bunga melati yang memberikan keharuman bagi setiap makhluk berada di dekatnya, sedangkan nama belakangku diambil dari tempat aku dilahirkan, karena pada saat itu ayah masih menyelesaikan studinya dan kami tinggal di Arlington, Virginia, Amerika Serikat.

Setelah lulus elementary school atau Sekolah Dasar, kami pindah dan menetap kembali di Indonesia karena ayah telah selesai menempuh studi dan menjadi staff ahli termuda di Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ibuku sendiri merupakan seorang Sarjana Humaniora, lulusan jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Indonesia, maka tak ada pantangan yang berarti saat keluarga kami harus tinggal di luar negeri untuk beberapa tahun lamanya.

Aku pun didaftarkan ke Jakarta International School, agar aku tetap menggunakan bahasa Inggris meskipun tidak sepenuhnya kata ayahku. Disanalah panggilan Bunga mulai melekat pada diriku. Mau tahu mengapa? Karena kata mereka, aku mirip dengan artis Bunga Citra Lestari dan kebetulan nama asliku juga merupakan nama salah satu jenis bunga. Aduh, ada-ada saja mereka ini, padahal aku tak merasa mirip dengan artis mana pun, tetapi aku terima saja karena itu memang panggilan khusus dari mereka untukku.

Sejak SD di Arlington, aku sudah terbiasa untuk aktif di kelas dan berpikir kritis sehingga kebiasaan ini tak hilang saat aku berada di SMP yang notabene bukan berada di Amerika Serikat, negara yang sangat menuntut kita untuk selalu kritis dan aktif dalam setiap kegiatan. Berkali-kali aku mengikuti lomba dan menjadi juara mewakili sekolahku, sebagian besar lomba debat bahasa Inggris, tentu saja karena bahasa tersebut bukan bahasa asing lagi bagiku.

Setelah lulus, aku meneruskan sekolah ke Pribadi Bilingual Boarding School, Bandung. Kurva prestasiku semakin meningkat karena disana aku aktif dalam beberapa organisasi dan ekstrakurikuler namun tetap memprioritaskan akademik. Para guru beberapa kali menawarkan berbagai program pertukaran pelajar untuk kuikuti seperti AFS, tetapi aku selalu menolaknya karena aku ingin memberikan kesempatan pada teman-temanku yang belum pernah pergi ke luar negeri dan belajar disana. Aku juga pernah mendapat tawaran beasiswa untuk berkuliah di National University of Singapore, tetapi lagi-lagi aku tolak karena aku telah memiliki rencana untuk menuntut ilmu di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia sebab kelak aku ingin menjadi dosen Bahasa Indonesia di Ohio University, Amerika Serikat.

Interaksi dengan lingkungan yang penuh dinamika menjadikanku pribadi yang open-minded atau berpikiran terbuka dan luas. Entah mengapa hal itu berdampak pada intuisiku sehingga ketajamannya diatas rata-rata serta kebiasaanku yang senang menyelidiki sesuatu (kebiasaan ini didapat karena aku adalah salah satu dari sekian banyak penggemar Sherlock Holmes). Di sekolah, baik SMP maupun SMA, aku beberapa kali memecahkan kasus pencurian yang membuat pihak sekolah kalang kabut. Kasus pencurian di SMA yang paling menghebohkan membuatku berkenalan dengan salah seorang siswa yang mengagumkan.

***

“Maaf, saya boleh ikut duduk disini?” tanya seorang siswa yang sepertinya lebih tua dariku.

“Oh, iya boleh, silakan duduk”, aku menjawab sambil mengelap sisa sereal di sudut bibirku.

“Kamu Jasmine yang suka dipanggil Bunga, kan?”

“Iya.. eh, kok tahu?”

“Siapa sih yang nggak tahu kamu? Detektif cerdas dari kelas 11 Bahasa 1 yang terkenal itu,” ia berbicara dengan senyuman yang menawan. Aduh, bisa-bisa dia membuatku luluh dengan senyumnya itu.

“Oohh… iya, gitu? Ah, berlebihan banget, sih. Hehe. Hmm, ngomong-ngomong kita belum kenalan..” ups, kok jadi aku yang mengajaknya berkenalan? Wah, sepertinya aku sedang salah tingkah sekarang.

“Oh iya, saya hampir lupa. Perkenalkan, saya Putra dari kelas 12 IPA 2,” kali ini senyumnya memamerkan sedikit barisan giginya yang putih dan rata, ia juga rupawan dan badannya atletis, pasti banyak yang siswi disini yang menyukainya.

“Hei… halo? Kamu nggak apa-apa, kan?” dia bertanya sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depanku.

“Eh, i-iya, nggak apa-apa kok, kak Putra..” aduh, pasti sekarang mukaku sudah seperti kepiting rebus gara-gara rasa terpesona dan malu dicampur menjadi satu.

“Oke, Bunga, saya ke kelas duluan, ya. Eh, satu lagi, boleh saya minta nomormu?”

“Boleh, kak.”

Sejak itulah aku mengenalnya, Putra Dinata Clarke, ayahnya pria Inggris asli sedangkan ibunya wanita Jawa tulen, pantas saja dia memiliki ketampanan yang membuatnya banyak digandrungi para perempuan. Dia pula yang membawaku bergabung di sebuah agen rahasia untuk menyelidiki berbagai masalah sosial yang skalanya diatas kasus-kasus pencurian di sekolah yang telah kupecahkan. Kami menyelediki dan memecahkan berbagai kasus bersama-sama, kami pun berjanji untuk kuliah di kampus yang sama walau berbeda jurusan dan angkatan. Berbagai tantangan dan rintangan pun muncul satu persatu…

***

Targetku menjadi mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UPI akhirnya tercapai dan aku tinggal bersama nenek di Setiabudi Regency karena orangtuaku tetap tinggal di Jakarta, sedangkan Putra sudah dari tahun kemarin menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Geografi UPI. Dia memang sangat mencintai alam, tadinya dia ingin masuk UI, tapi karena aku ingin ke UPI, ia mengganti haluannya. Ahh… bagaimana mungkin aku bisa melepas pria sebaik dia? Kami memang tak pernah membahas hal-hal yang berkaitan dengan perasaan seperti yang aku rasakan, tetapi entahlah… rasanya ada suatu ikatan diantara kami (tentu saja di luar tugas sebagai agen rahasia) yang tidak dapat diungkapkan secara verbal dan eksplisit.

Namun ada yang membuatku jengkel padanya sekarang, ia menyamar sebagai seorang mahasiswa urakan yang jelas-jelas sangat jauh berbeda dengan kepribadiannya. Tugas kami sekarang adalah menyelidiki kasus peredaran narkoba yang disinyalir sudah masuk ke lingkungan para calon pendidik ini. Sedih sekali rasanya dan tentu saja miris, betul-betul mafia narkoba tak tahu diri, mereka tak segan untuk meracuni mahasiswa yang akan menjadi para pahlawan tanpa tanda jasa di negeri ini.

“Bunga, kamu juga nyamar ya, mumpung belum mulai kuliah, kamu mulai sekarang pakai jibab aja,” pinta Putra dengan mimik serius namun dengan penampilan yang tidak mencerminkan kesungguhannya sebagai mahasiswa dan ini membuatku sedikit mual.

“Apa? Pakai jilbab? Aku kan nggak biasa… emang nggak ada alternatif penyamaran yang lain?” aku bergidik, jelas-jelas aku sangat tidak biasa memakai jilbab meskipun dari lahir aku menganut agama Islam.

“Aku mohon, Bunga… ini demi kelancaran misi kita mengusut tuntas kasus peredaran narkoba itu. Nanti di kampus, kita pura-pura tidak saling mengenal dan akhirnya kita berkenalan dengan cara yang akan dipikirkan selanjutnya. Hal ini agar tidak mencurigakan mafia narkoba serta antek-anteknya itu…” ujarnya memohon kepadaku.

“Lantas apa hubungannya dengan keharusanku memakai jilbab?” aku masih belum mengerti sepenuhnya.

“Begini, mereka itu akan sangat senang bila ada yang berhasil menjadikan gadis berjilbab sebagai pemakai narkoba dan nantinya tentu saja melepas jilbabnya. Aku juga belum menemukan alasan mengapa mereka menginginkan hal itu karena mereka tak pernah menjelaskannya, hanya saja kuat dugaanku bahwa mereka adalah bagian dari konspirasi.”

“Konspirasi bagaimana maksudmu?”

“Ya, konspirasi bangsa asing serta para oknum di negeri ini. Mereka tak ingin bangsa kita mengalami kemajuan yang pesat karena memiliki pemuda-pemudi yang hebat, karena mereka takut akan kehilangan segalanya karena SDM kita di masa depan berkualitas unggul. Kamu pasti tahu kan, negara kita memiliki SDA yang berlimpah dan itulah yang tak ingin dilepaskan oleh para konspirator jahat itu,” seperti biasa, Putra memberi penjelasan yang masuk akal dan membuatku mengerti semuanya. Kali ini memang misi yang besar dan termasuk berat dijalankan..

“Hmm.. Baiklah, aku akan mengenakan jilbab di kampus,” kataku dengan penuh keyakinan.

***

Masa-masa menjadi mahasiswi baru pun aku jalani dan nikmati. Asyik sekali rasanya, temanku bertambah banyak dan bertambah pula pengalamanku. Para dosennya pun sangat pandai dalam mengajar dan tidak membuatku bosan. Aku bertekad untuk menjadi dosen yang mengasyikkan seperti mereka saat aku menjadi dosen di Amerika Serikat kelak.

Kemudian pada suatu hari, teman bimbelku yang sama-sama berkuliah di UPI Bandung mengajakku bertemu, katanya ada seseorang yang mau berkenalan denganku. Aku bingung, siapa gerangan orang tersebut? Aku kan berbeda jurusan dengan Tere, teman bimbelku itu, memangnya ada ya mahasiswa baru yang mengenalku di luar FPBS?

“Siapa sih orangnya, re?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran.

“Nanti juga kamu tahu, dia kakak tingkat aku. Katanya sih dia melihat kamu sejak MOKA dan dia langsung tertarik sama kamu,” Tere mengatakannya dengan ekspresi yang meyakinkan.

“Masa iya, sih? Aneh banget, deh…” hanya itu yang bisa kukatakan, habis aku memang merasa aneh dan intuisiku mulai bekerja lagi, aku merasa seperti ada skenario di balik ini.

“Yaa.. kita lihat aja nanti,” ia mengedipkan matanya nakal. Ugh, aku tidak suka kalau harus terus penasaran seperti ini.

***

to be continued...

© KATATINA
Maira Gall